07 Juni 2008

PENGERTIAN PARIWISATA/TOURISME/TOURISM

PENGERTIAN PARIWISATA/TOURISME/TOURISM
Oleh ARDA DINATA

1. Prof. W. Hunzieker dan Prof. K. Krapf (1942):
Pariwisata adalah totalitas hubungan perjalanan dan berkunjungnya orang-oraang asing ke suatu atau beberapa tempat, naamun lamanya kunjungan tidak akan diartikan untuk tinggal meneetap di tempat yang dikunjungi (baca: tidak seperti imigrasi dan transmigrasi).

2. Prof. Dr. Salah Wahab, lebih mempertegas lagi di samping mobilitas manusia juga disinggung tujuan untuk berwisata.
Rumusannya:
Berpariwisata merupakan aktivitas yang dilaksanakan orang dengan penuh kesadaran di mana terdapat pula pelayanan antar manusia baik dinegeri/negara sendiri, antar negeri/ antar negaradan bahkan antar benua untuk waktu tertentu, mencari kepuasan/ tujuan yang beraneka ragam namun bukan untuk pekerjaan tetap yang mendapat imbalan upah.

3. Prof. Hans Buchli
Kepariwisataan adalah merupakan setiap peralihan tempat yang bersifat sementara dari seorang atau beberapa orang dengan maksud memperoleh pelayanan yang diperuntukkan bagi kepariwisataan itu oleh lembaga-lembaga yang berkecimpung dan ada kaitannya dengan kepariwisataan.

4. E.Guyer – Freuler (Seorang ekonomi dari Swis)
Pariwisata dalam arti modern adalah merupakan gejala jaman sekarang yang didasarkan atas kebutuhan akan kesehatan dan pengantiaan hawa, penilaian yang sadar dan menumbuh terhadap keindahan alam, kesenangan daan kenikmatan alam semesta. Dan pada khususnya disebabkan oleh bertambahnya pergaulan berbagai bangsa dan kelas dalam masyarakat manusia sebagai hasil perkembangan perniagaan, industri dan perdagangan serta penyempurnaan alat-alat pengangkutan.

5. PATA (Pacific Area Travel Association,--- kini Pacific Asia Travel Association).
Pariwisata, pada prinsipnya haruslah diartikan kegiatan orang-orang yang sedang mengadakan perjalan dalam jangka waktu 24 jam dan maksimal 3 bulan di dalam suatu negeri/ negara yang bukan tempat dimana dia biasanya tinggal.
Kegiatan orang-orang demikian dapat meliputi antara lain:
a. Perjalanan untuk bersenang-senang, untuk keperluan pribadi, untuk keperluan kesehtan dan sebagainya.
b. Perjalanan untuk menghadiri pertemuan, konferensi, musyawarah, pertemuan ilmiah dan sebagainya.
c. Perjalanan untuk keperluan dagang/bisnis/komersial.

11 April 2008

Minimisasi Limbah Bikin Rumah Sakit Cerah

Oleh: ARDA DINATA
PENGELOLAAN sampah medis rumah sakit (RS) di Jawa Barat, khususnya RS milik pemerintah (termasuk puskesmas) sejauh ini masih carut-marut. Padahal, sampah medis merupakan limbah B3 (bahan beracun berbahaya) yang berpotensi menularkan berbagai penyakit infeksi.

Hal itu diungkapkan Kepala Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah Jawa Barat Setiawan Wangsaatmaja. Menurut Setiawan, estimasi rata-rata produksi limbah medis di seluruh RS di Jabar tahun 2004 adalah sekitar 3.500 kilogram per hari. Rata-rata tempat tidur di RS setiap hari menghasilkan 0,3 kg sampah medis. Limbah medis padat harus dibakar dalam insinerator dua bilik dengan panas lebih dari 1.000 derajat Celcius. Sementara itu, limbah cair diolah dengan instalasi pengelola air limbah.
BOKS EBOOKS RESELLER SUKSES HIDUP ANDA:

Data lain dari hasil penelitian Litbang Depkes RI (tahun 1997/1998), kuantitas limbah padat RS tipe C di Jabotabek adalah 5–20 kg/pasien (36,7%), 20–40 kg/pasien (25,2%), 40–60 kg/pasien (20%) dan 60–100 kg/pasien (19,1%). Sementara itu, dalam profil kesehatan Indonesia (Depkes, 1997), diungkapkan seluruh RS di Indonesia berjumlah 1090 dengan 121.996 tempat tidur. Hasil kajian terhadap 100 RS di Jawa dan Bali menunjukkan, rata-rata produksi sampah kering 3,2 kilogram/ tempat tidur/hari, dan produksi limbah cair 416,8 liter/tempat tidur/hari. Di negara maju, jumlah limbah RS diperkirakan 0,5 -0,6 kilogram/tempat tidur/hari.

Analisis lebih jauh menunjukkan, produksi limbah padat 76,8 persen dan limbah infektius 23,2 persen. Diperkirakan secara nasional produksi sampah (limbah padat) RS sebesar 376.089 ton/hari dan produksi limbah cair 48.985,70 ton/hari. Dapat dibayangkan betapa besar potensi RS untuk mencemari lingkungan dan kemungkinan menyebabkan kecelakaan serta penularan penyakit.

Minimisasai Limbah RS

Melihat fakta masalah limbah di RS tersebut, maka para pengelola RS sudah selayaknya menerapkan program minimisasi limbah untuk mengamankan RS dari terjadinya pencemaran dan penularan aneka kuman penyakit dari limbah yang dihasilkannya. Minimisasi limbah (waste minimization) yaitu upaya mengurangi volume, konsentrasi, toksisitas (daya racun), dan tingkat bahaya yang keluar ke lingkungan dengan jalan reduksi pada sumbernya dan atau pemanfaatan limbah itu sendiri.

Pertama, reduksi limbah pada sumbernya. Reduksi pada sumber merupakan upaya untuk mengurangi volume, konsentrasi, toksisitas dan tingkat bahaya limbah yang keluar ke lingkungan secara preventif langsung pada sumbernya. Langkah ini diambil sebagai prioritas atas dasar pertimbangan antara lain meningkatkan efisiensi kegiatan, biaya pengolahannya relatif murah dan pelaksanaannya relatif mudah.

Berbagai cara yang digunakan untuk reduksi limbah pada sumbernya adalah (1). House keeping yang baik, dilakukan demi menjaga kebersihan lingkungan dengan mencegah terjadinya ceceran, tumpahan atau kebocoran bahan serta menangani limbah yang terjadi dengan sebaik mungkin. (2). Segregasi aliran limbah. Adalah memisahkan berbagai jenis aliran limbah menurut jenis komponen, konsentrasi atau keadaanya, sehingga dapat mempermudah, mengurangi volume, atau mengurangi biaya pengolahan limbah.

(3). Melakukan preventive maintenance, yaitu pemeliharaan/ penggantian alat atau bagian alat menurut waktu yang telah dijadwalkan berdasarkan perkiraan waktu kerusakan alat. (4). Pengelolaan bahan (material inventory). Berarti suatu upaya agar persediaan bahan selalu cukup untuk menjamin kelancaran proses kegiatan, tetapi tidak berlebihan sehingga tidak menimbulkan gangguan lingkungan, sedangkan penyimpanan agar tetap rapi dan terkontrol sehingga tidak terjadi kerusakan bahan.

(5). Pemilihan teknologi dan proses yang tepat untuk mengeluarkan limbah B3 dengan efisiensi yang cukup tinggi, sebaiknya dilakukan sejak awal pengembangan rumah sakit baru atau penggantian sebagian unitnya.

(6). Melalui subtisuti bahan atau dalam hal ini penggunaan kantung limbah dengan warna berbeda untuk memilah-milah limbah di tempat sumbernya, misalnya limbah klinik dan bukan klinik. Kantung plastik cukup mahal, sebagai gantinya dapat digunakan kantung kertas yang tahan bocor, dibuat secara lokal sehingga mudah diperoleh. Kantung kertas ini dapat ditempeli strip berwarna, kemudian ditempatkan di tong.

Kedua, pemanfaatan limbah, yaitu suatu upaya mengurangi volume, konsentrasi, toksisitas dan tingkat bahaya limbah yang keluar ke lingkungan. Usaha pemanfaatan limbah ini merupakan alternatif minimisasi limbah yang dapat memberikan nilai ekonomis berupa pengurangan biaya pembuangan limbah dan pengadaan bahan baku. Adapun teknik-teknik pemanfaatan limbah yang dapat dilakukan berupa: Recovery (perolehan kembali), Reuse (penggunaan kembali), dan Recycle (daur ulang).

Mecerahkan RS

Dengan usaha minimisasi limbah RS tersebut, paling tidak akan memberi dampak positif pada kondisi RS yang lebih cerah karena terhindar dari aneka infeksi nosokomial atau penularan penyakit dan pencemaran lingkungan. Kecerahan rumah sakit ini, tentu akan semakin cerah lagi, apabila diimbangi dengan peningkatan kinerja rumah sakit lainnya, karena minimisasai limbah RS ini hanya merupakan salah satu indikator dari penilaian kinerja RS secara umum.

Berikut ini ada lima faktor yang menjadi indikator penilaian kinerja rumah sakit. Pertama, kepuasan pasien, yakni bagaimana indikator ini dari waktu ke waktu mengalami perubahan. Kedua, pelayanan medik. Jumlah indikatornya sangat banyak, antara lain indikator di bidang gawat darurat, bedah, penyakit dalam, anak, radiologi, laboratorium, dan lainnya. Juga indikator untuk keseluruhan rumah sakit misalnya angka kematian dan angka perawatan ulang pasien.

Ketiga, efisiensi. Yakni indikator di bidang keuangan meliputi rentabilitas, likuiditas, dan profit margin. Di bidang produktivitas tempat tidur mencakup BOR (Bed Occupancy Rate), ALOS (Average Length of Stay), dan lainnya. Keempat, kepuasan staf dan karyawan, juga merupakan indikator untuk menilai kinerja rumah sakit. Dan kelima, kualitas ksehatan lingkungan. Hal ini terkait dengan penanganan limbah, sanitasi, pengamanan terhadap risiko keselamatan, dll.

Akhirnya, melalui akreditasi RS, kelima kelompok unsur ini diukur apakah memenuhi standar yang berlaku yang telah ditentukan atau tidak. Dari hasil pengukuran ini, baik dalam kelompok struktur atau proses atau pun outcome akan menunjukkan rumah sakit ini sudah berkualitas atau belum. Dan bila kelima unsur ini ditangani oleh pihak manajemen rumah sakit secara komprehensif dan terintegrasi maka kualitas pelayanan tentu akan meningkat. Jadi, tidak berlebihan bila minimisasi limbah rumah sakit diterapkan, maka rumah sakit akan semakin cerah. ***
Penulis adalah dosen di Akademi Kesehatan Lingkungan (AKL) Kutamaya.
Arda Dinata adalah pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia, http://www.miqra.blogspot.com.
ADA EBOOK GRATIS SEBAGAI BONUS YANG WAJIB ANDA BACA:

Sanitasi Menyehatkan Rumah Sakit

Oleh: ARDA DINATA
ADA kejadian yang menimpa seorang pasein rawat nginap di Rumah Sakit (RS) yang bikin masyarakat awam terheran-heran, ia melihat bukannya penyakit yang diderita pasien tersebut sembuh tetapi sebaliknya justru penyakitnya bertambah parah setelah beberapa hari dirawat. Usut punya usut, ternyata si pasein tersebut mendapat infeksi nosokomial. Apa itu infeksi nosokomial?
Secara umum infeksi nosokomial dapat didefinisikan sebagai infeksi yang didapatkan penderita selama perawatan di RS. Namun, penyakit tersebut belum ada atau tidak sedang dalam inkubasi pada saat penderita masuk RS, kecuali bila penyakit itu berhubungan dengan perawatan sebelumnya di RS.
Sementara itu, dalam buku “Komponen Sanitasi Rumah Sakit Untuk Institusi Pendidikan Tenaga Sanitasi” (1989: 21), infeksi nosokomial adalah penyakit yang terjadi akibat infeksi silang (cross infection) maupun swa infeksi (self infection). Infeksi silang ini adalah timbulnya penyakit pada diri seseorang akibat adanya faktor lingkungan (interaksi antara faktor host, agent, environment). Sedangkan swa infeksi berarti timbulnya penyakit atau makin parahnya kondisi penyakit seseorang (carier) karena faktor lingkungan.
Secara demikian, apa yang harus dilakukan untuk menjaga fungsi dan kedudukan RS sebagai institusi atau tempat pelayanan kesehatan terhadap individu pasein, keluarganya, dan masyarakat dengan inti pelayanan medik, baik preventif, kuratif, rehabilitatif, dan promotif yang diproses secara terpadu agar mencapai pelayanan kesehatan yang paripurna?
Manajemen Sanitasi RS
Keberadaan RS dilihat dari aspek kesehatan lingkungan, pada dasarnya terdiri dari lingkungan biotik dan abiotik. Dalam kesehariannya lingkungan biotik dan abiotik ini akan melakukan interaksi, baik langsung maupun tidak langsung. Atas dasar itu, di lingkungan RS dimungkinkan terjadinya kontak antara tiga komponen (pasien, petugas, dan masyarakat) dalam lingkungan RS dan benda-benda/alat-alat yang dipergunakan untuk proses penyembuhan, perawatan dan pemulihan penderita.
Hubungan tersebut bersifat kontak terus menerus yang memungkinkan terjadinya infeksi silang pasien yang menderita penyakit tertentu kepada petugas RS dan pengunjung RS yang sehat. Akan tetapi mungkin juga berfungsi sebagai carier kepada pasein, petugas dan pengunjung. Kondisi kontak yang tinggi dari penderita dengan petugas RS maupun pengunjung itu, tidak menutup kemungkinan sejumlah bibit penyakit dapat berpindah (baca: menular) kepada orang yang sehat dan mungkin dapat juga mengakibatkan penularan yang meluas.
Atas dasar itu, maka untuk mendapatkan keadaan sanitasi yang baik perlu ada manajemen sistem pengaturan sanitasi itu sendiri. Manajemen sanitasi rumah sakit merupakan tindakan pengelolaan dalam upaya pengawasan berbagai faktor lingkungan fisik, kimiawi dan biologis di RS yang mungkin menimbulkan/dapat mengakibatkan pengaruh buruk terhadap kesehatan jasmani, rohani, maupun sosial bagi petugas, penderita, pengunjung maupun masyarakat sekitar RS.
Dengan kata lain, manajemen pelayanan sanitasi rumah sakit diselenggarakan dalam rangka menciptakan kondisi lingkungan RS yang nyaman dan bersih sebagai pendukung usaha penyembuhan penderita, disamping mencegah terjadinya penularan penyakit infeksi nosokomial kepada sesama pasein dan orang sehat baik petugas RS maupun pengunjung.
Secara demikian, penerapan manajemen sanitasi rumah sakit dapat dikatakan sebagai kunci awal untuk mencegah terjadinya infeksi nosokomial. Pencegahan infeksi nosokomial, sebagian besar dilakukan melalui asuhan keperawatan yang berfokus pada aspek pencegahan. Aspek pencegahan itu, tidak lain adalah penerapan usaha sanitasi rumah sakit itu sendiri. Hal ini, tentunya cukup beralasan apabila para perawat harus memahami pentingnya usaha sanitasi rumah sakit dalam upaya pencegahan infeksi nosokomial, sebab para perawat inilah yang paling lama kontak dengan penderita, yaitu terjdi 24 jam sehari.
Rumah sakit sebagai unsur pelayanan kepada masyarakat, tentunya dalam penerapan sanitasi rumah sakit ini akan terkait erat dengan unsur pelayanan teknis medis dan teknis keperawatan penderita. Sebagai konsekuensi logis dari kedudukan ini, maka sanitasi rumah sakit juga merupakan integrasi dari administrasi/ manajemen kesehatan lingkungan, rekayasa sosial (social engineering), epidemiologi, dan pendidikan kesehatan lingkungan bagi masyarakat. Pendek kata, penyelenggaraan sanitasi rumah sakit merupakan bagian integral dari program rumah sakit secara keseluruhan, penetapan sebagai bagian program berdasarkan pada perundangan yang berlaku di dalam rumah sakit.
Sanitasi rumah sakit juga harus merupakan satu kesatuan dan keterpaduan dari: pengetahuan dan teknologi rekayasa (engineering); pengetahuan dan teknologi kimia, pengetahuan bakteriologi dan mikrobiologi; pengetahuan dan teknologi perawatan mekanis; pengetahuan dan kemampuan khusus pengelolaan administratif maupun teknis (managerial skill) di bidang kesehatan lingkungan.
Menyehatkan RS
Berkait dengan prinsip-prinsip sanitasi rumah sakit yang diterapkan dalam rangkaian usaha pencegahan dan pengurangan infeksi nosokomial (baca: infeksi silang dan swa infeksi) atau tepatnya usaha menyehatkan RS, dapat melalui beberapa usaha.
Pertama, penanganan kebersihan kerumahtanggaan untuk menciptakan lingkungan yang nyaman dan bersih dari investasi mikroorganisme, yang bebas dari jasad renik. Kedua, tersedia dan terlaksananya penanganan, pengumpulan limbah atau sampah yang memadai. Ketiga, tersedianya air bersih yang bebas dari kuman penyakit. Keempat, ventilasi udara yang baik, yang dapat memberikan udara bersih dan segar.
Kelima, teknik-teknik aseptic (pembebas kuman/ hama) bagi semua petugas rumah sakit. Keenam, tempat tidur dan perlengkapannya bersih dan bebas dari kuman. Ketujuh, makanan dan minuman yang sehat, bebas dari bahan pencemaran. Kedelapan, pencahayaan (termasuk alami dan buatan) yang cukup. Kesembilan, bebas dari serangga dan rodent penular penyakit.
Jadi, kemungkinan terjadinya penularan penyakit akibat infeksi nosokomial di RS adalah disebabkan karena pengaruh lingkungan RS yang kurang baik. Oleh karena itu, sebagai solusi untuk mencegah dan menyehatkan rumah sakit, usaha sanitasi RS merupakan usaha yang tepat. ***
Penulis adalah dosen di Akademi Kesehatan Lingkungan (AKL) Kutamaya.
Arda Dinata adalah pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia, http://www.miqra.blogspot.com.
ADA EBOOK GRATIS SEBAGAI BONUS YANG WAJIB ANDA BACA:

Limbah Medis Tercecer, Penyakit Siap Menyebar

Oleh: ARDA DINATA
SEJUMLAH rumah sakit (RS) yang beroperasi di Kota Cirebon tidak memiliki insenerator (semacam tungku pembakar) untuk membakar limbah medis padat yang bersifat infeksius. Padahal kita tahu jutaan kuman penyakit dari limbah medis ini setiap saat siap mengancam manusia yanga ada lingkungan rumah sakit tersebut.
Mendengar dan membaca berita tersebut, penulis merasa prihatin. Seperti diberitakan HU ”Pikiran Rakyat” (14/03/06) bahwa dari 11 RS daerah dan swasta di Kota Cirebon, hanya tiga RS yang memiliki insenerator, yakni RSUD Gunung Jati, RS Pelabuhan, dan RS Budi Luhur. Sedangkan RS yang lainnya belum memiliki fasilitas insenerator dan beberapa RS yang tidak memiliki insenerator, mengirimkan limbah infeksiusnya ke RSUD GJ.
Namun, yang memprihatinkan kita adalah sudah beberapa waktu ini insenerator milik RSUD GJ rusak. Akhirnya pihak RSUD GJ membuang limbah infeksiusnya ke tempat pembuangan sampah sementara (TPS) yang ada di sekitar areal rumah sakit (PR, 04/03/06).
Kondisi demikian tentu kalau tidak segera ditangani dan berlarut-larut akan membahayakan kesehatan manusia yang ada di lingkungan RS tersebut. Sebab, kita tahu limbah medis, injeksi yang infeksius ini mengandung virus atau bakteri patogen yang sangat berpotensi untuk menyebarkan penyakit. Untuk itu, sebenarnya dalam dunia perumahsakitan, jauh-jauh hari aturn pengelolaan limbah medis ini telah diatur oleh pemerintah. Menurut beberapa aturan yang ada saat ini, disebutkan kalau limbah medis ini termasuk limbah bahan beracun dan berbahaya (B3), yang tentunya harus dikelola secara khusus.
Jadi, pertanyaannya adalah bagaimana caranya agar limbah medis tidak tercecer, sehingga kuman penyakit yang ada didalamnya tidak menyebar?
Jenis Limbah RS
Kegiatan RS yang sangat kompleks, tidak saja memberikan dampak positif bagi masyarakat sekitarnya, tapi juga memiliki dampak negatif akibat limbah yang dihasilkan tanpa proses pengolahan terlebih dahulu.
Limbah yang dihasilkan RS dapat berupa virus dan kuman yang berasal dari laboratorium virologi dan mikrobiologi yang sampai sekarang belum ada alat penangkalnya. Pokoknya, limbah RS bisa mengandung aneka mikroorganisme tergantung pada jenis RS, tingkat pengolahan yang dilakukan sebelum dibuang ke lingkungan bebas.
Secara spesifik, limbah cair RS dapat mengandung bahan organik dan anorganik yang umumnya diukur dan parameter BOD, COD, TSS, dan lainnya. Sementara itu, limbah padat rumah sakit terdiri atas sampah mudah membusuk, sampah mudah terbakar, dll. Limbah-limbah tersebut kemungkinan besar mengandung mikroorganisme patogen atau bahan kimia beracun berbahaya yang menyebabkan penyakit infeksi dan dapat tersebar ke lingkungan rumah sakit yang disebabkan oleh teknik pelayanan kesehatan yang kurang memadai, kesalahan penanganan bahan-bahan terkontaminasi dan peralatan, serta penyediaan dan pemeliharaan sarana sanitasi yang masih buruk.
Lebih jauh, bila dilihat dari sumber penghasil limbah di RS, maka jenis limbah RS dibedakan menjadi: Pertama, limbah dapur. Limbah ini beupa sisa-sisa makanan dan air kotor dari aktivitas di dapur rumah sakit. Berbagai serangga seperti kecoa, lalat dan tikus merupakan hewan yang dapat mengganggu bagi petugas maupun pasien di RS, jika limbah dapur ini tidak dikelola dengan baik.
Kedua, limbah klinik. Limbah dihasilkan selama pelayanan pasien secara rutin, pembedahan dan di unit-unit resiko tinggi. Limbah ini mungkin berbahaya dan mengakibatkan resiko tinggi infeksi kuman dan populasi umum dan staff rumah sakit. Oleh karena itu perlu diberi label yang jelas sebagai resiko tinggi. contoh limbah jenis tersebut ialah perban atau pembungkus yang kotor, cairan badan, anggota badan yang diamputasi, jarum-jarum dan semprit bekas, kantung urin dan produk darah.
Ketiga, limbah bukan klinik. Limbah ini merupakan limbah yang dihasilkan diluar kegiatan yang berhubungan langsung dengan klinik di RS. Contohnya, kertas-kertas pembungkus atau kantong dan plastik yang tidak berkontak dengan cairan badan.
Keempat, limbah patologi. Limbah ini memiliki resiko tinggi terhadap penyebaran kuman dan sebaiknya diotoklaf sebelum keluar dari unit patologi. Untuk itu, perlakuan terhadap limbah patologi ini harus diberi label biohazard.
Kelima, limbah radioaktif. Walaupun limbah ini tidak menimbulkan persoalan pengendalian infeksi di RS, tapi keberadaannya dapat memberikan radiasi ke lingkungan sekitarnya sehingga pembuangannya secara aman perlu diatur dengan baik.
Menghalau Kuman Penyakit
Melihat begitu besarnya peluang penyebaran penyakit yang bersumber dari kondisi pengelolan limbah medis yang tidak baik, maka jalan satu-satunya untuk menghalau menyebarnya kuman penyakit tersebut adalah dengan menerapkan usaha sanitasi RS (baca: tulisan terkait Sanitasi Menyehatkan RS).
Salah satu upaya dari usaha sanitasi RS itu berupa pengelolaan limbah RS. Pengolahan limbah pada dasarnya merupakan upaya mengurangi volume, konsentrasi atau bahaya limbah, setelah proses produksi atau kegiatan, melalui proses fisika, kimia atau hayati. Upaya pertama yang harus dilakukan adalah upaya preventif yaitu mengurangi volume bahaya limbah yang dikeluarkan ke lingkungan yang meliputi upaya mengurangi limbah pada sumbernya, serta upaya pemanfaatan limbah.
Terkait dengan pengelolaan limbah ini, kita juga harus mengakui bahwa teknologi pengolahan limbah medis yang ada sekarang (tangki septik dan insinerator), terbukti masih memiliki nilai negatif. Tangki septik banyak dipersoalkan lantaran rembesan air dari tangki yang dikhawatirkan dapat mencemari tanah. Terkadang ada beberapa rumah sakit yang membuang hasil akhir dari tangki septik tersebut langsung ke sungai-sungai, sehingga dapat dipastikan sungai tersebut tercermari zat medis. Sementara itu, insinerator yang menerapkan teknik pembakaran pada sampah medis, juga bukan berarti tanpa cacat. Badan Perlindungan Lingkungan AS (USEPA) menemukan teknik insenerasi merupakan sumber utama zat dioksin yang sangat beracun.
Mengikuti perkembangan teknologi pengolah limbah saat ini, pihak RS kiranya bisa mencoba dengan metode ozonisasi. Metode ini merupakan salah satu metode sterilisasi limbah cair rumah sakit yang direkomendasikan USEPA pada tahun 1999. apalagi kita tahu, limbah cair yang dihasilkan RS umumnya banyak mengandung bakteri, virus, senyawa kimia, dan obat-obatan yang dapat membahayakan bagi kesehatan masyarakat sekitar RS tersebut. Sehingga tidak bisa cukup hanya diurai dengan aerasi atau activated sludge. Sebab, bahan-bahan itu mengandung logam berat dan infektius, sehingga harus disterilisasi atau dinormalkan sebelum dibuang ke lingkungan bebas.
Akhirnya, dengan pemanfaatan sistem ozonisasi ini pihak RS tidak hanya dapat mengolah limbahnya tapi juga akan dapat menggunakan kembali air limbah yang telah terproses (daur ulang). Teknologi ini, selain efisiensi waktu juga cukup ekonomis, karena tidak memerlukan tempat instalasi yang luas. Terlepas dari itu semua, yang jelas biar limbah medis tidak tercecer dan menyebarkan kuman penyakit, maka kuncinya pihak RS harus melakukan pengelolaan limbah yang dihasilkan secara benar.***
Penulis adalah dosen di Akademi Kesehatan Lingkungan (AKL) Kutamaya.
Arda Dinata adalah pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia, http://www.miqra.blogspot.com.
ADA EBOOK GRATIS SEBAGAI BONUS YANG WAJIB ANDA BACA: